Minangkabau atau yang
biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan
menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera
Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai
barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.
Seperti yang dikutip dari
AlamMengembangJadiGuru, Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali
disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera
Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut
kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang
itu sendiri.
Asal-usul Minangkabau
menurut TAMBO
Nama Minangkabau berasal
dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal di dalam tambo (babad, hikayat).
Dari tambo tersebut, konon
pada suatu masa ada satu kerajaan asing yang datang dari laut akan melakukan
penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk
mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau
yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak
kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka
kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari
mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal
dari ucapan “Manang kabau” (artinya menang kerbau).
Yang jelas bangunan rumah
adat Minangkabau mencirikan tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara untuk
korban upacara adat. Akan tetapi suku bangsa ini lebih suka menyebut daerah
mereka Ranah Minang (Tanah Minang ) bukan Ranah Kabau ( Tanah Kerbau ).
Kisah tambo ini juga
dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan
itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan
nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk
menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan
Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dari tambo yang diterima
secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara
sistematis dan lebih kepada legenda dibanding fakta, serta cenderung kepada
sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.
Namun demikian,
kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin
yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba (tokoh mitos di Bumi Melayu) salah seorang keturunan
Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Asal-usul Minangkabau
menurut Sejarah
Untuk menelusuri kapan
gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, perlu
dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di
Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah
berusia ribuan tahun. Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini
terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau,
Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto
Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan
megalit lainnya, berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman
perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit
seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di
Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan
yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan
bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan
Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menhir-menhir di cagar
budaya Bawah Parit yang merupakan lokasi menhir terbesar dari 7 situs menhir di
Nagari Mahat. Lebih dari 348 Menhir berdiri tegak di sini Bentuknya pun macam-macam.
Ada yang berbentuk pedang, tanduk maupun kepala manusia. Menurut penelitian
para ahli, menhir-menhir ini telah ada sejak Periode Neolitikum yaitu sekira
2500-1500 tahun sebelum Masehi.
Menurut para ahli bahwa
pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di
daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang.
Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada
tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM,
dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia
sekarang.
Pakaian Minang dan suku
Dong di Yangshuo dan Guilin. kredit Aswilnazir.com
Bangsa Austronesia yang
datang pada gelombang pertama ke nusantara ini, disebut oleh para ahli dengan
bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa
Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai, Kubu dan lain-lain. Mereka yang datang
pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi
suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain. Dari keterangan
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah
bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau
kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh
Dr. Bernet Bronson.
Perpindahan ini berjalan
bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Dua kelompok ini sama-sama mempunyai ikatan
matrilinear. Ada kelompok yang mencari aliran sungai. Pada saat perpindahan ini
apa yang terjadi di belahan dunia yang sudah lama memasuki zaman logam antara
lain dapat kita jelaskan sebagai berikut :
India berkembang agama
budha yang dibawa Sidharta Gautama (563-483 SM). Gautama adalah putera Raja
Sudhodana dari kerajaan Kavilawastu yang wilayahnya meliputi Nepal, Bhutan dan
Sikkin, 1600 SM di India sudah pula berkembang agama Hindu (mahabratha). China
di kala itu dikuasai Dinasti Chou tahun 1050-256 SM waktu itu hidup filosof
Konfutse, Laotse dan Mengtse
Kedua daerah itu adalah
tempat turunnya ras detro malayu termasuk Minangkabau, dapat dipastikan gelombang
ke 2 yang datang 500-400 SM beragama Budha dan Hindu, dilihat secara
kontekstual kemungkinan mereka yang turun dari Burma, Kamboja dan Thailand
sebagai embrio suku besar melayu di Minangkabau (suku melayu di Minangkabau
adalah Melayu, Bendang, Kampai, Mandahiling dan Panai) dan mereka yang datang
dari India Selatan (pantai timur) adalah embrio suku Jambak, Pitopang,
Salokutiannyia, Bulukasok dan Banuhampu atau sebaliknya, namun kedua kelompok
ini disebut sebagai Melayu Continental.
Dalam rentang waktu
500-400 SM itu mereka telah membentuk kekuasaan budaya seperti raja gunung dan
raja sungai. Agama Budha sudah dikembangkan pada saat itu. Mungkin saja pada
periode ini mereka sudah sampai ke hulu Batang Kampar, hulu Batang Rokan, hulu
Batanghari dan hulu sungai lainnya.
Situasi kehidupan
masyarakat waktu itu hidup dengan berdagang, sawah dan mulai berkembang
pertambangan emas dan hasil hutan lainnya,
Kredit: Aswilnazir.com
Ada pertanyaan dengan apa
mereka menyelusuri dataran tinggi Minagkabau jawabannya adalah dengan kerbau,
karena agama yang dianutnya perlu menyayangi binatang kerbau, gajah, lembu,
sehingga dari kerbau ini mereka dapat mengembangkan permainan rakyat melalui
adu kerbau. Dr Nooteboom memperkuat alasan tentang kegiatan berlayar yang dimiliki
oleh ahli Yunani zaman purba Strabo dan Pilinius bukanlah Srilangka akan tetapi
adalah Sumatera atas dasar itu Dr Nooteboom (pengikut zulkarnain) ketika ia
berlabuh di India berarti sudah ada hubungan Minangkabau dengan India berkenaan
waktunya adalah 336 SM.
Jika pendapat diatas ini
kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang
Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Asal Usul Kata Melayu dan
Minangkabau
Prof.Dr.Husain Naimar,
guru besar antropologi Universitas Madras menerangkan bahwa kata melayu berasal
dari bahasa Tamil. Malai berarti gunung, malaiur adalah suatu suku bangsa
pegunungan dan sebutan malaiur fonetis menjadi melayu. Penduduk sebelah pesisir
selatan pegunungan Dekkan adalah orang malabar,orang minangkabau menyebutnya
malabari. Malayalam adalah bahasa yang dipergunakan oleh suku bangsa dravida
yang mendiami pegunungan. Di minangkabau menurut penelitian Prof.Husein Naimar
banyak terdapat kata-kata tamil dan sanskerta hal ini membuktikan adanya
hubungan sejarah antara Minangkabau dan Malabar.
Di Malabar pun sistem
masyarakatnya juga menurut garis keibuan dan pusako tinggi turun dari mamak ke
kemanakan. Prof. Yean quisiner dari salah satu universitas di Perancis meneliti
ke minangkabau, mendapatkan adanya hubungan antara Minangkabau dengan Burma,
Muangthai, Kamboja dan Vietnam bukti adanya hubungan terlihat dari kata
pagaruyung paga (suku matriakat seperti juga dijumpai pada suku khazi, malabar
dan lainnya) “ru” artinya pusat “yung” (danyun) artinya kerapatan, jadi
Pagaruyung dapat diartikan pusat kerapatan suku yang menganut sistem keibuan.
Durian ditakuak rajo adalah perobahan fonetik dari Durum patakai raya.
Du : kata bilangan
dua/seluruhnya
Rum : kerekel/pasir
Pataka : dataran pantai
Raya : luas/besar
Asal-usul Nama Minangkabau
~ Prof Van de Tuuk
menerangkan bahwa Minangkabau asalnya dari Pinang Khabu yang
artinya tanah asal
~ Prof Dr Husein Naimar
menyatakan bahwa Minagkabau adalah perubahan fonetik dari
menonkhabu bahsa tamil
yang artinya tanah pangkal
~ Drs Zuhir Usman
menyatakan bahwa di dalam hikayat raja-raja Pasai Minagkabau diartikan menang
adu kerbau
~ Hal ini mendapat
bantahan dari Prof. Dr. Purbacaraka karena bersifat legenda.
Beliau mengatakan bahwa
Minagkabau berasal dari Minanga tamwan artinya pertemuan dua
muara sungai.
Minang berasal dari
Kerajaan Minanga asal dari Raja pertama Sriwijaya?
Minanga merupakan salah
satu nama dari Kerajaan Melayu yang telah muncul pada tahun 645. Berita tentang
keberadaan kerajaan ini didapat dari buku T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang
p’u pada tahun 961 masa Dinasti Tang, dimana kerajaan ini mengirimkan utusan ke
Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya. Kemudian didukung oleh Prasasti
Kedukan Bukit yang bertarikh 683.
Menurut Prasasti Kedukan
Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar
Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Ia
berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000
bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah.
Prasasti Talang Tuwo
Beberapa prasasti lain
yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh
Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686
masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan
Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan
prasasti-prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan
Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang,
Selatan Lampung dan Pulau Bangka, dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa
yang mungkin menyebabkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.
Slamet Muljana mengaitkan
Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sebagai “Sri Jayanasa”, karena
menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya
ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini
hanya setahun, maka kemungkinan besar “Dapunta Hyang” di dalam Prasasti Kedukan
Bukit dan “Sri Jayanasa” dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.
Prasasti kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit
1. Swasti, sri.
Sakawarsatita 605 ekadasi su-
2. klapaksa wulan Waisakha
Dapunta Hyang naik di
3. samwau mangalap
siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4. wulan Jyestha Dapunta
Hyang marlapas dari Minanga
5. tamwan mamawa yang wala
dua laksa dangan kosa
6. dua ratus cara di
samwau, dangan jalan sariwu
7. telu ratus sapulu dua
wanyaknya, datang di Mukha Upang
8. sukhacitta. Di pancami
suklapaksa wulan Asada
9. laghu mudita datang
marwuat wanua …..
10. Sriwijaya
jayasiddhayatra subhiksa
Terjemahan dalam bahasa
Indonesia modern:
1. Bahagia, sukses. Tahun
Saka berlalu 605 hari kesebelas
2. paroterang bulan
Waisaka Dapunta Hyang naik di
3. perahu melakukan
perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4. bulan Jesta Dapunta
Hyang berlepas dari Minanga
5. tambahan membawa
balatentara dua laksa dengan perbekalan
6. dua ratus koli di
perahu, dengan berjalan seribu
7. tiga ratus dua belas
banyaknya, datang di Muka Upang
8. sukacita. Di hari
kelima paroterang bulan Asada
9. lega gembira datang
membuat wanua …..
10. Perjalanan jaya
Sriwijaya berlangsung sempurna
Timbul setumpuk
pertanyaan:
1. Benarkah Minanga
sekarang disebut Minang?
2. Benarkah Minanga
merupakan asal dari Dapunta Hyang (raja pertama Sriwijaya), ataukah hanya
daerah taklukan Sriwijaya?
3. Apakah arti kalimat
‘marwuat wanua’? Benarkah kalimat ini menyatakan pembangunan sebuah kota
seperti pendapat banyak ahli sejarah?
4. Benarkah peristiwa itu
merupakan pembuatan ibukota atau perpindahan ibukota Sriwijaya?
Demikianlah prasasti
Kedukan Bukit mengandung banyak persoalan yang tidak sederhana. “This text has
caused much ink to flow” kata Prof. Dr. George Coedes dalam bukunya, The
Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur,
1968, h. 82.
Asal-usul Raja Jayanasa
dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan ahli sejarah.
Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama
dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari.
Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai
(Tamwan berarti temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di
Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus.
Hubungan Kerajaan
Dharmasraya-Pagaruyung dan Singhasari-Majapahit
Dharmasraya adalah nama
ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera. Nama ini muncul seiring dengan
melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I (raja Chola
dari Koromandel) pada tahun 1025.
Komplek Candi Muara Takus,
salah satu Kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya
Kemunduran kerajaan
Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian
muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu
yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang
pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di
selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja
Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai
supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang
lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti
ini menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara,
raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di
Dharmasraya.
Arca Amogaphasa
Dharmasraya dalam
Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian,
Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri
kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu,
Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti
Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini
adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi,
yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah
Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat
Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat
dipastikan. Dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan
dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul
pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga
Rajendra.
Istilah Srimat yang
ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa
Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali
Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan
jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah
raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa
Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Prasasti ini ditemukan
pada tahun 1911 di dekat sumber sungai Batanghari, Padangroco
Dalam Kidung Panji
Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan
utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang
dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian ditahun 1286
Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang
kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota bhumi
malayu, sebagai hadiah dari Kerajaan Singhasari. Tim ini kembali ke Pulau Jawa
pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama
Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya yang
telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan
Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh sira
alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau
Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, dan kelak menjadi Tuan
Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman Minangkabau.
Pada tahun 1339
Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus
melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung
Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati
Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.
Adityawarman
Setelah membantu Majapahit
dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka,
Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat
Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan
kerajaannya dengan nama Malayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya ke
daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang
Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal
sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa
Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja
Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja
Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan
seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Keturunan Minang?
Dari Sejarah diatas,
terlihat sangat erat hubungan antara Singhasari-Majapahit di Jawa dengan
Dharmasraya-Pagaruyung. Bahkan raja Majapahit Jayanegara pun ibunya adalah
orang minang/melayu (Dara Petak). Jadi mungkin tidak terlalu mengada-ada (belum
ada bukti sejarah) jika Gajah Mada adalah juga orang Minang, mengingat Mada
dalam bahasa minang berarti bebal, pemalas atau masif (lamban). Hal ini cocok
dengan binatang Gajah yang terkesan lamban.
Terracota yang dipercaya
sebagai wajah dari Gajah Mada
Gajah Mada (wafat k. 1364)
adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman
kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari
zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah
peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang
mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa
Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri)
yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Gajah Mada terkenal dengan
sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan
tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia
adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan
sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah
Mada, dan darimana dia berasal, sampai saat ini masih kontroversial. Pada masa
sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan
Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.